Perpustakaan
DESKRIPSI DATA LENGKAP
JudulPROBLEMATIKA PASAL 83 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Nama: SUPARJO
Tahun: 2020
Abstrak
PROBLEMATIKA PASAL 83 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA SKRIPSI Di ajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Meraih Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako Disusun oleh: SUPARJO D 101 12 292 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TADULAKO 2019 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT, berkat rahmat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir guna memenuhi syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu-ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu. Skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menghanturkan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir Mahfudz, M.P, selaku Rektor Universitas Tadulako. 2. Bapak Dr. H. Sulbadana, SH.,MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako. 3. Bapak Dr. lembang Palipadang, SH.,MH selaku Wakil Dekan I, Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Tadulako. 4. Bapak Dr. H. Ahmad H.B, SH.,MH, selaku Dosen Pembimbing I, yang banyak memberikan, bimbingan, arahan dan saran terkait subtansi sejak dari awal sampai selesainya penyusunan skripsi ini. 5. Bapak Dr. H. Awaluddin, SE.,SH.,MH, selaku Dosen Pembimbing II penulis, yang telah memberikan, bimbingan, arahan dan saran terkait perbaikan teknis penulisan skripsi ini. 6. Bapak Dr. H. M. Yasin Nahar, SH.,MH, Bapak Dr. Surahman, SH.,MH, Bapak Dr. Abdul Rasyid Thalib, SH.,M.Hum, Bapak Dr. Muh Tavip, SH.,MH dan Bapak Dr. Asri Lasatu, SH.,MH, selaku dosen penguji yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan masukan kepada penulis. 7. Bapak M. Jafar, SH.,MH, selaku dosen wali penulis yang senantiasa memberikan nasehat akademik untuk penulis. 8. Bapak dan Ibu dosen, Bapak dan Ibu staf serta seluruh kawan-kawan pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako. 9. Teristimewa terhadap kedua orang tua saya , yang saya sayangi dan cintai, serta kakak dan adik saya yang sudah membantu dalam berbagai aspek untuk menyelesiakan tugas akhir ini . Terakhir penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapakan kritikan yang membangun untuk skripsi ini, demi kesempurnaa karya selanjutnya. Palu, ..................2019 Suparjo DAFTAR ISI Halaman Sampul ………………………………………………………….…. i Halaman Pengesahan……………………………………………………….. ii Halaman Pernyataan Keaslian ………………………………………………. iii Kata Pengantar …………………………………………………………….… iv Daftar Isi …………………………………………………………………….. v Abstrak …………………………………………………………………….… vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah 6 C. Tujuan Penelitian 6 D. Kegunaan Penelitian 6 E. Kerangka Pemikiran 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Negara Hukum 10 B. Tinjauan Tentang Peradilan Tata Usaha Negara 17 1. Latar Belakang dan Tujuan 17 2. Asas-asas Hukum Peradilan Tata Usaha Negara 22 3. Subjek Peradilan Tata Usaha Negara 26 4. Objek Peradilan Tata Usaha Negara 31 C. Tinjauan Tentang Upaya Intervensi 35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Makna Intervensi 43 1. Pengaturan 43 2. Perlindungan Hak 48 3. Penegakan Keadilan 55 B. Hubungan Pihak Intervensi dengan Asas Erga omnes 60 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 64 B. Saran 64 DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK Suparjo, D101 12 292 “Intervensi Dalam Sengketa Tata Usaha Negara (Problematika Pasal 83 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986)” dibimbing oleh (Ahmad H.B) dan (H. Awaluddin). Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Penelitian ini bertujuan (1) Untuk menjelaskan makna intervensi dalam sengketa tata usaha negara (2) Untuk menjelaskan hubungan Pasal 83 dengan asas erga omnes. Kesimpulan penelitian ini adalah (1) Pada prinsipnya makna intervensi dalam Sengketa TUN adalah untuk memenuhi asas persamaan di depan hukum, sebagai upaya perlindungan hak bagi pihak ketiga dan menegakkan keadilan secara legalis demi tercapainya keadilan protektif bagi pihak ketiga. (2) Karena putusan hakim peradilan tata usaha negara bersifat mengikat secara umum (erga omnes) dan karena isi tuntutan pihak ketiga selalu paralel dengan tuntutan pihak penggugat maka sebaiknya wujud perlindungan hak pihak ketiga adalah berkedudukan sebagai saksi yang sangat berkepentingan karena jika pihak ketiga tersebut masuk sebagai pihak dalam sengketa maka akan bertentangan dengan sifat asas erga omnes sebagai ratio legis dan sengketa akan mungkin sekali berkepanjangan dan berbelit-belit. Saran penelitian adalah (1) Sepatutnya dilakukan kembali perubahan secara cermat dan komprehensif terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan perubahannya, khususnya yang berkenaan dengan Pasal 83 dan penjelasannya untuk menghindari tumpang tindih terhadap ketentuan tentang upaya intervensi demi tercapainya kepastian hukum dan keadilan dalam penyelesaian Sengketa TUN. (2) Untuk menjamin kepastian hukum dan jelasnya kedudukan hukum para pihak maka hakim harus berhati-hati dalam menerapkan ketentuan Pasal 83 selama belum dilakukan perubahan terhadap ketentuan tersebut atau sedapat mungkin menghindari penerapannya. . Kata Kunci : Intervensi, Sengketa Tata Usaha Negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara berdasar atas hukum.Negara hukum menghendaki agar setiap tindakan penguasa haruslah berdasar atas hukum yang berlaku. Selanjutnya, pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Negara hukum menghendaki setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas.Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan baik itu berdasarkan atribusi, delegasi ataupun mandat.Negara hukum pada dasarnya terutama bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat atas tindakan pemerintah berdasarkan prinsip hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. Permasalahan yang kemudian ditimbulkan adalah bahwa dengan wewenang yang dimiliki baik berdasarkan kewenangan atribusi, delegasi ataupun mandat, acap kali pemerintahmengambil kebijakan yang justru merugikan kepentingan masyarakat, baik itu individu maupun badan hukum perdata. Untuk mengantisipasi kondisi yang demikian maka keberadaan suatukelembagaan yang bersifat netral yang dapat mengawasi dan menyelesaikan persoalan yangtimbul sebagaimana yang dimaksud diatas mutlak dibutuhkan. Pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, yang merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien. Lembaga dimaksud adalah PeradilanTata Usaha Negara (administratief rechtspraak) yang biasa disingkat PTUN.Dasar hukum Peradilan Tata Usaha Negara adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 (selanjutnya ditulis Undang-undang PTUN). Pada dasarnya dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang bersengketa, yakni penggugat dan pihak tergugat. Pihak penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara. Ketentuan mengenai siapa yang berkedudukan sebagai penggugat, Pasal 53 ayat (1) Undang-undang PTUN mengatur bahwa : (1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Sedangkan tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 angka 12 bahwa : “Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”. Ketentuan undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara hanya memberikan hak kepada orang atau badan hukum perdata untuk menggugat. Karena hanya orang atau badan hukum perdata yang dapat menjadi penggugat dalam setiap sengketa tata usaha negara, maka hak untuk menggugat tidak dimungkinkan bagi badan atau pejabat tata usaha negara. Begitu pula sebaliknya, hanya badan atau bejabat tata usaha negara yang dapat menjadi tergugat dan tidak dimungkinkan bagi orang atau badan hukum perdata. Dengan demikian berdasarkan ketentuan tersebut, maka seharusnya dalam setiap sengketa tata usaha negara hanya terdapat dua pihak yang bersengketa yaitu orang atau badan hukum perdata selaku pihak yang dituju langsung oleh keputusan tata usaha negara sebagai pihak pertama (penggugat) dan pihak badan atau pejabat tata usaha negara selaku pihak yang telah mengeluarkan keputusan sebagai pihak kedua (tergugat). Namun, ketentuan lain dalam hukum acara peradilan tata usaha negara mengatur kemungkinan ikut sertanya pihak ketiga. Dalam pasal 83 ayat (1) Undang-undang PTUN diatur bahwa : (1) Selama pemeriksaan berlangsungsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan , baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam sengketa tata usaha negara dan bertindak sebagai : a. pihak yang membela haknya; atau b. peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa. Masuknya pihak ketiga dalam proses yang sedang berlangsung itu dapat terjadi karena kehendaknya sendiri karena ia ingin membela kepentingannya sendiri (tussenkomst)atau karena ia diperintahkan oleh majelis hakim untuk masuk dalam proses tersbut dengan menggabungkan diri pada salah satu pihak yang sedang bersengketa (voeging). Apabila pihak ketiga diterima masuk dalam proses yang sedang berlangsung, maka secara teoritis terdapat kemungkinan : 1. Berdiri sendiri sebagai penggugat mandiri 2. Bergabung dengan pihak penggugat sebagai penggugat II-intervensi 3. Bergabung dengan pihak tergugat sebagai tergugat II-intervensi. Namun yang merupakan kesulitan adalah bagaimana menentukan kedudukanpihak ketiga yang masuk dalam proses yang sedang berjalan tersebut. Jika masuknya pihak ketiga tetap berpatokan pada ketentuan pasal 53 ayat (1) dan Pasal 1 angka 12 Undang-undang PTUN, maka tidak terdapat kesulitan. Tapi, kemungkinan terjadi pihak ketiga yang seharusnya sebagai pihak penggugat-intervensi justru memiliki kepentingan paralel dengan pihak tergugat dan jika hal tersebut diterapkan maka akan bertentangan dengan Pasal 1 angka 12 dan pasal 53 ayat (1). Secara yuridis bergantinya posisi orang atau badan hukum perdata menjadi pihak tergugat dalam hukum acara peradilan tata usaha negara tidak dimungkinkan karena bertentangan dengan sistem yang dianut dalam Undang-undang PTUN, dimana posisi tergugat hanya dimungkinkan bagi badan atau pejabat tata usaha negara dan posisi seseorang atau badan hukum perdata sebagai penggugat. Masalah lain kaitannya dengan pasal 83 tersebut adalah dengan adanya asas dalam peradilan tata usaha negara yang menyatakan bahwa putusan hakim peradilan tata usaha negara mengikat secara umum (asas erga omnes). Karena sengketa tata uasaha negara merupakan sengketa yang terletak dalam lapangan hukum publik, maka putusan akan menimbulkan konsekuensimengikat secara umum dan mengikat terhadap sengketa yang mengandung persamaan, yang mungkin timbul pada masa yang akan datang. Putusan peradilan tata usaha negara yang telah berkekuatan hukum tetap mengandung sifat erga omnes, artinya berlaku untuk siapa saja dan tidak hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara. Dengan kata lain, siapa pun harus terikat dengan putusan pengadilan tata usaha negara, baik pihak yang berperkara maupun di luar itu. Karena putusan hakim Peradilan Tata Usaha Negara bersifat erga omnes maka pada dasarnya tidak diperlukan menarik pihak ketiga. Namun, sifat erga omnesnya putusan tersebut dapat merugikan pihak lain diluar sengketa. Bagi pihak-pihak yang tidak dirugikan mungkin tidak menjadi masalah tapi, bagaimana dengan pihak-pihak yang dirugikan dengan putusan tersebut. Sementara Pasal 83 memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang dirugikan tersebut untuk ikut serta. Dengan demikian apakah ketentuan Pasal 83 tersebut tidak berlebihan atau bertentangan dengan asas erga omnes. Bertitik tolak pada berbagai permasalahan yang dikemukakan di atas, maka kajian mengenai Intervensi Dalam Sengketa Tata Usaha Negara merupakan hal yang menarik untuk dikaji dari perspektif keilmuan, terutama dari aspek ilmu hukum. B. Rumusan Masalah Dari uraian yang ada pada latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apa makna intervensi dalam sengketa tata usaha negara? 2. Bagaimana hubungan Pasal 83 dengan asas erga omnes ? C. Tujuan Penelitian Dengan dikemukakannya permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan makna intervensi dalam sengketa tata usaha negara. 2. Untuk menjelaskan hubungan Pasal 83 dengan asas erga omnes. D. Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kegunaan penelitian yang kiranya dapat bermanfaat bagi semua pihak adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan yang dapat menambah khasanah pengetahuan berpikir khususnya dalam disiplin ilmu hukum administrasi negara, mengenai keberadaan pihak intervensi dalam sengketa TUN. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran bagi kalangan praktisi hukum dalam menerapkan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara dan bagi aparat pemerintah dapat menjadi tolak ukur dalam mengambil langkah-langkah kebijakan secara bijak. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif. 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Penelitian ini memberikan gambaran yang lengkap mengenai makna intervensi dalam sengketa tata usaha negara dan hubungn Pasal 83 dengan asas erg omnes.. 3. Jenis Data dan Sumber Data Berdasarkan jenis penelitian yang dipilih maka jenis data yang dibutuhkan dan digunakan adalah jenis data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi kepustakaan, yang terdiri dari tiga bahan hukum yaitu : a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan judul penelitian ini. b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang ditulis oleh para ahli dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian ini. c. Bahan hukum tertier, berupa kamus-kamus, bibliografi dan ensiklopedia. F. Kerangka Pemikiran Negara hukum berarti semua orang harus menjunjung tinggi hukum, dan tidak ada toleransi untuk menyelesaikan sengketa dengan main hakim sendiri. Karenanya tujuan PTUN secara filosofis adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat dalam sengketa antara pemerintah dengan rakyat. Dalam prosedur administrasi tindakan dan keputusan pemerintah melalui instansi pemerintah terhadap individu dan warga negara berdasrkan kepada kekuasaan negara. Instansi pemerintah melaksanakan ketentuan perundang-undangan negara, dimana warga negara harus tunduk terhadapnya. Meskipun demikian, di depan peradilan yang independen posisi negara dan warga negara adalah sama, tidak berada di atas atau di bawah. Setiap orang bersamaan kedudukannya di depan hukum. Syarat untuk itu adalah, bahwa untuk mempertahankan hak dan kepentingannya di depan pengadilan, setiap orang harus memiliki dasar hukum. Berkaitan dengan hal diatas, Diduga bahwa dasar hukum atau ketentuan tentang masuknya pihak intervensi dalam Sengketa TUN akan berbenturan dengan prinsip yang dianut dalam sistem Peradilan TUN yakni sifat individualnya suatu Keputusan TUN dan tunggalnya isi tuntutan dalam Sengketa TUN serta definitifnya kedudukan para pihak dalam sengketa. Asumsi tersebut akan dikaji dalam penelitian ini melalui dua variabel utama, yaitu pertama makna dan esensi intervensi, dan variabel kedua adalah implikasi hukum intervensi. Untuk mencapai hasil analisis yang komprehensif dan valid, dalam setiap variabel telah ditetapkan indikator masing-masing. Variabel pertama, indikatornya adalah pengaturan, perlindungan hak dan penegakan keadilan. Sedangkan variabel kedua indikatornya adalah legal standing dan kedudukan hukum para pihak. Uraian kerangka berpikir tersebut, secara sederhana dapat digambarkan dalam bagan birikut: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Negara Hukum Sejarah mengenai negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-paksaan yang dilaksanakan pemerintah despotik. Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, tetapi pada tataran implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam. Hal ini karena pengaruh-pengaruh situasi kesejarahan dan juga disamping itu baik secara historis dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, seperti negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon yaitu rule of law, konsep socialist legality dan konsep negara hukum Pancasila. Unsur-unsur negara hukum Eropa Kontinental (rechtsstaat) menurut Friedrich Julius Sthal adalah sebagai berikut: 1. Perlindungan hak-hak asasi manusia; 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; 3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan 4. Peradilan administrasi dalam perselisihan. Sedangkan unsur-unsur negara hukum Anglo Saxon (rule of law) menurut Albert Van Dicey adalah sebagai berikut : 1. Supremasi aturan-aturan hukum; 2. Adanya persamaan di depan hukum; dan 3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh UUD serta putusan-putusan pengadilan. Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh F.J Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip rule of law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh The International Commission of Jurist, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum menurut The International Commission of Jurists itu adalah: 1. Negara harus tunduk pada hukum; 2. Pemerintah menghormati hak-hak individu; dan 3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak. Dari beberapa pendapat di atas, Arief Sidharta, juga merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas negara hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal sebagai berikut: 1. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakardalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity). 2. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat predictable. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah: a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum; b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan; c. Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak; d. Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan manusiawi; e. Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas; f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang atau UUD. 3. Berlakunya persamaan Similia Similius atau Equality before the Law. Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau mendiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga negara. 4. Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu: a. Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala; b. Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh badan perwakilan rakyat; c. Semua warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah; d. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak; e. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat; f. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi; g. Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif. 5. Pemerintah dan pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut: a. Asas-asas umum pemerintahan yang layak; b. Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi; c. Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki tujuan yang jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif dan efisien. Bila mengkaji Negara Indonesia, maka Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila yaitu: 1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara; 2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. 4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedang khusus untuk Mahkamah Agung harus juga merdeka dari pengaruh-pengaruh lainnya. Sebagaimana Sri Soemantri Martosoewignjo, memberikan unsur negara hukum yang berdasarkan Pancasila, maka Philipus M. Hadjon lebih tegas lagi dengan memberikan ciri negara hukum Pancasila, bukan lagi negara hukum yang berdasarkan atas Pancasila. Unsur negara hukum Pancasila menurut Philipus M. Hadjon adalah sebagai berikut: 1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; 2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; 3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; 4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban. Apabiala dibandingkan antara pendapat kedua guru besar tersebut, maka terlihat jelas bahwa Sri Soemantri melihat negara hukum Pancasila dari sudut yuridis formal yang diatur di dalam UUD 1945. Sedangkan Philipus M. Hadjon, mengkaji negara hukum Pancasila dari sisi jiwa atau roh negara hukum Pancasila. Dengan istilah lain, Hadjon mengkaji negara hukum Pancasila dari aspek materil atau isi dari apa yang dicirikan oleh Sri Soemantri. Berdasarkan uraian dari kedua pendapat di atas dapat disimak bahwa apa yang menjadi unsur dari rechtsstaat memiliki kesamaan dengan apa yang menjadi unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dalam unsur rechtsstaat terdapat unsur asas legalitas yang mengamanatkan agar setiap tindakan harus berdasar atas hukum. Dengan kata lain, dalam unsur negara hukum Pancasila, asas legalitas menjadi hal yang sangat penting. Ini bahwa pada hakikatnya setiap orang maupun badan hukum yang berada di wilayah Negara Indonesia, tunduk pada hukum yang berlaku di negara ini. Demikian juga alat-alat perlengkapan negara, seperti departemen-departemen dan lembaga-lembaga, serta instansi-instansi yang berada dibawahnya, perusahaan dalam berbagai bentuk badan usaha milik negara atau badan usaha milik swasta, tentara, polisi, guru, buruh, petani dan lain-lainnya, semuanya tunduk pada hukum yang berlaku. Sebagaimana pendapat C.F Strong bahwa “hakekat suatu negara yang membuatnya berbeda dengan semua bentuk perkumpulan adalah kepatuhan anggota-anggotanya terhadap hukum”. Negara hukum berarti semua orang harus menjunjung tinggi hukum, dan tidak ada tempat bagi orang yang mempertahankan haknya dengan kekuatan sendiri. Jadi, dalam masyarakat yang beraturan tidak memberikan toleransi untuk menyelesaikan sengketanya dengan main hakim sendiri. Berdasarkan uraian di atas, bahwa konsep negara hukum atau negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat atau the rule of law) yang mengandung prinsip-prinsip asas legalitas, asas pemisahan kekuasaan dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, semuanya bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari kemungkinan bertindak sewenang-wenang atau penyalahgunaan kekuasaan. B. Tinjaun Tentang Peradilan Tata Usaha Negara 1. Latar Belakang dan Tujuan Peradilan atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspraak atau dalam bahasa Inggris disebut judiciary adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara dalam penegakan hukum dan keadilan. Menurut Van Praag, peradilan adalah penentuan berlakunya sesuatu aturan hukum terhadap sesuatu peristiwa yang konkrit sehubungan dengan timbulnya sesuatu persengketaan. Dengan demikian, peradilan adalah badan atau instansi yang netral terhadap peristiwa hukum konkrit untuk kemudian melakukan proses memeriksa dan memasukkan peristiwa konkrit itu ke dalam suatu norma hukum yang abstrak dan menuangkannya dalam bentuk putusan demi tegaknya hukum dan keadilan. PTUN merupakan salah satu pilar peradilan dari empat peradilan yang ada di lingkungan Mahkamah Agung. PTUN adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap Sengketa TUN. Dasar konstitusional pembentukan PTUN ini adalah Pasal 24 UUD 1945. Sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal tersebut adalah dengan diundangkannya undang-undang tentang kekuasaan kehakiman sebagaimana hasil perubahan terakhir yaitu UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian diundangkan UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang diubah dengan UU No.9 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan UU No.51 Tahun 2009. Salah satu asas yang sangat penting dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu bahwa kekuasaan kehakiman itu adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kaitannya dengan kemandirian kekuasaan kehakiman, beberapa ahli memasukkan unsur tersebut sebagai unsur suatu negara hukum. Seperti yang dikemukakan oleh Arief Sidharta, Sri Soemantri dan Bagir Manan sebagaimana yang dikutip pada uraian sebelumnya. Hal yang sama juga dikemukakakn oleh Jimly Asshiddiqie bahwa dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri sebagai salah satu esensi kegiatan bernegara. Sehingga tidak ada negara yang dapat disebut negara demokrasi tanpa praktek kekuasaan kehakiman yang independen. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan di atas mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Sedangkan menurut penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 adalah bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis. Kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim merupakan asas yang sifatnya universal, yang terdapat dimana saja dan kapan saja. Meskipun pada dasarnya hakim itu mandiri atau bebas, akan tetapi kebebasan hakim tersebut tidaklah mutlak, karena dalam menjalankan tugasnya hakim dibatasi oleh Pancasila, UUD 1945, peraturan perundang-undangan, kehendak para pihak, ketertiban umum dan kesusilaan sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia, bukan keadilan subjektif menurut pengertian atau kehendak hakim semata. Sebagai undang-undang organik dan yang mengatur ketentuan-ketentuan bidang kekuasaan kehakiman, di dalam UU No.48 Tahun 2009 tersebut, juga diatur ketentuan umum tentang persamaan kedudukan di depan hukum, pengadilan mengadili setiap perkara menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Sejalan dengan itu, Jimly Asshiddiqiemengemukakan bahwa ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan (judicial system), yaitu prinsip independensi (the principle of judicial independence) dan prinsip ketidak berpihakan (the principle of judicial impartiality). Prinsip independensi tersebut harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Selain itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem pengkajian dan pemberhentian para hakim. Sedangkan, prinsip ketidak berpihakan mengandung makna dibutuhkannya hakim yang tidak saja imparsial, tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial. Selain itu juga diatur bahwa tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain yang ditentukan oleh undang-undang. Dari uraian di atas membuktikan bahwa betapa pentingnya lembaga kekuasaan kehakiman dan kemandirian lembaga tersebut bagi suatu negara hukum yang demokratis konstitusional. Karena hal tersebut, maka latar belakang yang menjadi dasar pertimbangan adanya PTUN adalah : a. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, serta tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat; b. Adanya kemungkinan timbul benturan kepentingan, perselisilian, atau sengketa antara Badan atau Pejabat TUN dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional. Menurut A. Siti Soetami PTUN merupakan sarana control on the administration. PTUN adalah salahsatu pelaksana kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap Sengketa TUN. Sementara menurut Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, PTUN merupakan institusi untuk menyelesaikan timbulnya Sengketa TUN antara Badan atau Pejabat TUN dengan warga masyarakat pencari keadilan sebagai implikasi peran positif aktif pemerintah dalam kehidupan masyarakat. Melalui kontrol yudisial yang dijalankan oleh PTUN, secara tidak langsung, juga dilakukan pembinaan terhadap aparatur negara sebagai pelaku birokrasi. Untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau Pejabat TUN dengan warga masyarakat, maka diperlukan adanya sarana hukum yaitu PTUN. Peradilan tersebut sekaligus sebagai sarana pengawasan yuridis dan legalitas bagi administrasi negara. PTUN merupakan suatu bentuk kontrol yang bertindak setelah terjadinya penyimpangan administratif. Apa yang hendak dicapai dengan berfungsinya PTUN adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, serta tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, serta menciptakan suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Undang-Undang PTUN memberikan landasan hukum kepada badan yudikatif untuk menilai tindakan badan eksekutif.Dengan adanya PTUN, maka dengan sendirinya social conrol, social responsibility dan social participation akan semakin meningkat. Karena tujuan dari PTUN adalah agar rasa keadilan di dalam masyarakat terpelihara dan dapat ditingkatkan sebagai bagian dari public service pemerintahan terhadap warganya, dan agar keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan umum dapat terjamin dengan baik. 2. Asas-asas Peradilan Tata Usaha Negara Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yan dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas hukum dapat juga berarti sesuatu yang melahirkan peraturan-peraturan/aturan-aturan hukum, merupakan suatu ratio legis dari suatu peaturan atau aturan hukum yang memuat nilai-nilai, jiwa, cita-cita sosial atau pandangan etis yang ingin diwujudkan. Dalam sistem PTUN, dikenal beberapa asas hukum yang mendasari berlakunya norma hukum tentang PTUN. Asas-asas tersebut dirumuskan dari berbagai sumber, baik bersumber dari asas yang terdapat dalam ilmu hukum, maupun bersumber dari asas dalam hukum dan atau asas-asas itu berasal dari asas hukum umum dan atau asas hukum khusus. Berkenaan dengan asas-asas PTUN, beberapa ahli diantaranya S.F Marbun, Indroharto, Philipus M. Hadjon dan Zairin Harahap memberikan rumusan yang berbeda-beda baik dari segi jumlah maupun dari segi istilah. Namun, perbedaan tersebut pada hakekatnya tidak bersifat prinsip dan bahkan saling melengkapi. Dari rumusan asas-asas hukum PTUN yang dirumuskan oleh para ahli tersebut, penulis dapat mengutip beberapa asas-asas yang relevan dengan tulisan ini. Asas-asas yang dimaksud yaitu : 1. Asas persamaan dihadapan hukum. Asas pesamaan dihadapan hukum melahirkan ketentuan, setiap tindakan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, dapat dituntut pertanggungjawabannya dihadapan pengadilan, tidak terkecuali tindakan yang menimbulkan kerugian itu dilakukan oleh pemerintah. Penerapan asas ini akan menimbulkan pula konsekwensi bahwa para pihak yang bersengketa mempunyai kedudukan sama dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti, keterangan, atau penjelasan salah satu pihak saja. 2. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Sederhana adalah hukum acara yang mudah dipahami dan tidak berbelit-berbelit. Dengan hukum acara yang mudah dipahami peradilan akan berjalan dalam waktu yang relatif cepat. Dengan demikian biaya berperkara juga menjadi ringan. 3. Asas keterbukaan persidangan. Asas keterbukaan persidangan merupakan asas umum yang ditemukan hamper dalam setiap hukum acara, tidak terkecuali dalam hukum acara peradilan tata usaha negara. Maksud asas ini adalah untuk menjaga agar proses pemeriksaan berjalan dengan terbuka. Asas ini menimbulkan konsekwensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. 4. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan. 5. Asas hakim aktif. Asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas. 6. Asas pembuktian bebas. Diberikannya peluang hakim PTUN menerapkan asas pembuktian bebas, hanyalah merupakan konsekwensi logis dari tugas hakim menemukan kebenaran materil dan pemberian peran aktif hakim. Dengan diberikannya wewenang kepada hakim untuk menerapkan asas pembuktian bebas, maka hakim menjadi tidak lagi terikat terhadap alat bukti yang diajukan para pihak dan penilaian pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada hakim. 7. Asas ultra petita. Asas ultra petita merupakan konsekwensi dari peranan hakim aktif dalam PTUN. Hakim melakukan ultra petita maksudnya hakim dapat melakukan penyempurnaan terhadap objek sengketa dengan cara melengkapi objek sengketa yang diajukan para pihak. 8. Asas praduga rechtmatig. Asas praduga rechtmatig adalah asas yang mengandung makna bahwa demi kepastian hukum, setiap Keputusan TUN yang dikeluarkan selalu harus dianggap benar menurut hukum, karenanya dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya. 9. Asas pemeriksaan segi rechtmatigheid dan larangan pemeriksaan segi doel matigheid. Pemeriksaan yang dilakukan oleh PTUN, hanya terbatas pada segi rechtmatigheid Keputusan TUN yang disengketakan. Artinya pengujian terhadap Keputusan TUN hanya dari segi yuridisnya saja. Hakim tidak dibenarkan melakukan pengujian dari segi kebijaksanaan (doel matigheid) suatu keputusan yang disengketakan, sebatas keputusan yang disengketakan tidak merupakan keputusan yang bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku atau tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 10. Asas pengujian ex-tunc. Pengujian ex-tunc adalah pengujian yang dilakukan PTUN hanya terbatas pada fakta-fakta atau keadaan hukum pada saat Keputusan TUNyang disengketakan itu dikeluarkan, sedangkan perubahan fakta-fakta dan perubahan keadaan hukum tidak turut dipertimbangkan. 11. Asas putusan bersifat erga omnes. Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan hakim PTUN bersifat erga omnes. Artinya putusan mengikat secara umum, berlaku bagi siapa saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. 3. Subjek Peradilan Tata Usaha Negara Subjek PTUN adalah para pihak yang bersengketa. Para pihak dalam Sengketa TUN adalah pihak penggugat dan pihak tergugat. Mengenai siapa yang dapat bertindak sebagai penggugat dan berhak untuk menggugat, Pasal 53 UU No.9 Tahun 2004 mengatur bahwa: Ayat (1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi. Ayat (2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asasumum pemerintahan yang baik. Penjelasan Pasal 53 di atas menjelsakan bahwa hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk menggugat Keputusan TUN. Badan atau Pejabat TUN tidak dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk menggugat Keputusan TUN. Selanjutnya hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum Keputusan TUN yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan TUN. Berbeda dengan gugatan di muka pengadilan perdata, maka apa yang dapat dituntut di muka PTUN terbatas pada 1 (satu) macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar Keputusan TUN yang telah merugikan kepentingan penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah. Tuntutan tambahan yang dibolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam sengketa kepegawaian saja dibolehkan adanya tuntutan tambahan lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi. Penjelasan ayat (2) huruf b menjelskan bahwa yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah meliputi asas: 1. kepastian hukum; 2. tertib penyelenggaraan negara; 3. keterbukaan; 4. proporsionalitas; 5. profesionalitas; 6. akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Mengenai pengertian tentang orang, UU No.5 Tahun 1986 dan perubahannya tidak mengaturnya, maka penulis berpendapat bahwa apa yang berlaku dalam kitab undang-undang hukum perdata (KUHP) itulah yang menjadi patokan dalam menentukan golongan orang yang dapat menjadi salah satu subjek dalam hukum acara PTUN. Dalam hukum, perkataan orang berarti pengemban hak dan kewajiban di dalam hukum. Setiap orang adalah pembawa hak sejak ia dilahirkan hingga berakhir pada saat ia meninggal. Meskipun menurut hukum tiap orang memiliki hak, akan tetapi di dalam hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya. Berbagai golongan orang oleh undang-undang telah dinyatakan tidak cakap melakukan sendiri perbuatan hukum. Karenanya mereka harus diwakili oleh wali atau pengampunya. Sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) di atas, bahwa selain orang atau individu-individu, hak untuk menggugat juga diberikan kepada badan hukum perdata. Seperti halnya orang, badan hukum perdata juga merupakan pendukung hak dan kewajiban maka dapat juga mengajukan gugatan ke PTUN karena badan hukum mempunyai kepentingan sendiri sebagaimana ada pada diri manusia. Kepentingan badan hukum tersebut dilindungi oleh hukum. Untuk itu ia dilengkapi dengan suatu aksi bila kepentingannya dirugikan. Dalam praktek dikenal beberapa badan atau perkumpulan yang dapat melakukan pergaulan hukum seperti firma, CV, perseroan terbatas, koperasi, yayasan dan sebagainya. Mengenai kedudukan mereka sebagai badan hukum ditetapkan oleh perundang-undangan, kebiasaan atau yurisprudensi. Bahkan organisasi dan instansi pemerintah umum sebagai badan hukum juga dapat bertindak sebagai penggugat. Hanya saja hal tersebut jarang terjadi karena UU PTUN selalu memposisikan Badan atau Pejabat TUN sebagai tergugat. Menurut ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU No.9 Tahun 2004, maka orang atau badan hukum perdata, baik sebagai alamat yang dituju secara lansung oleh suatu Keputusan TUN maupun yang tidak, hanya dapat mengajukan gugatan terhadap suatu Keputusan TUN apabila kepentingan mereka telah dirugikan. Pengertian “kepentingan” itu sendiri, menurut Indrohartomengandung dua arti yaitu “1. menunujuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum; dan 2. kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan”. Dalam buku yang sama Indroharto juga berpendapat bahwa orang atau badan hukum perdata yang dapat dirugikan oleh keluarnya suatu Keputusan TUN dapat digolongkan dalam tiga kelompok yaitu : 1. Orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu keputusan tata usaha negara. orang atau badan hukum perdata tersebut langsung terkena kepentingannya oleh keputusan tata usaha negara yang dialamatkan kepadanya. 2. Orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut pihak ketiga yang berkepentingan : a. individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan. Kelmpok ini merasa terkena kepentingannya secara tidak langsung oleh keluarnya suatu keputusan tata usaha negara yang sebenarnya dialamatkan kepada orang lain. b. organisasi-organisasi kemasyarakatan yang merasa berkepentingan karena keputusan tata usaha negara yang diterbitkan bertentangan dengan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan dalam anggaran dasarnya. 3. Badan atau pejabat tata usaha negara yang lain, namun undang-undang peradilan tata usaha negara tidak memberi kemungkinan kepada badan atau pejabat tata usaha negara menggugat keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan. Selanjutnya siapa yang berkedudukan sebagai tergugat, Pasal 1 angka 12 UU No.51 Tahun 2009 mengatur bahwa “ Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”. Wewenang yang ada pada Badan atau Pejabat TUN atau yang dilimpahkan kepadanya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka 12 di atas, dapat diperoleh secara atributif, delegasi atau mandat. Apabila kewenangan itu diperoleh dari suatu peraturan, maka kewenangan itu dinamakan bersifat atributif. Jika Badan atau Pejabat TUN yang memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif mengeluarkan Keputusan TUN yang kemudian disengketakan, maka yang harus digugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang disebutkan dalam peraturan dasarnya yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif tersebut. Dapat pula terjadi wewenang atributif itu didelegasikan, maka apabila Badan atau Pejabat TUN yang memperoleh wewenang secara delegasi itu mengeluarkan keputusan yang kemudian disengketakan, maka Badan atau Pejabat TUN yang terakhir inilah yang harus menjadi tergugat. Pelimpahan wewenang dapat juga terjadi atas dasar pemberian mandat. Jika seorang Badan atau Pejabat TUN yang menerima tugas mandat (mandataris) mengeluarkan suatu keputusan yang kemudian disengketakan, maka yang seharusnya yang digugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang memberi mandat (mandans). 4. Objek Peradilan Tata Usaha Negara Objek Sengketa TUN adalah Keputusan TUN. Keputusan TUN yang dapat menjadi objek sengketa pada Peradilan TUN adalah Keputusan TUN yang tertulis dan Keputusan TUN yang bersifat fiktif negatif. Pasal 1 angka 9 UU N0.51 Tahun 2009 mengatur bahwa : Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Penjelasan UU PTUN menjelaskan bahwa istilah “penetapan tertulis” terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat TUN apabila sudah jelas : a. Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya; b. maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; c. kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya. Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud “tindakan hukum tata usaha negara” adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan Hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri. Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara. Bentuk keputusan Badan atau Pejabat TUN sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 9 tersebut diatas sangat beraneka ragam. Sebagai contoh yaitu SK pengangkatan pegawai, izin usaha industri, surat keterangan kelakuan baik, akte kelahiran, surat izin mengemudi, sertifikat hak atas tanah dan sebagainya. Keputusan TUN menurut Pasal 1 angka 9 tersebut merupakan keputusan yang bersifat memiliki wujud yakni adanya bentuk keputusan sebagai reaksi dari pihak Badan atau Pejabat TUN yang berwenang mengeluarkan keputusan tersebut, karena adanya permohonan dari individu atau badan hukum perdata. Namun kemungkinan terjadi permohonan keputusan yang dimohonkan tidak dikeluarkan oleh pihak Pejabat TUN yang berwenang. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) UU No.5 tahun1986 bahwa: (1) Apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara. (2) Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Sikap pasif Badan atau Pejabat TUN yang tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 di atas, dapat disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi penolakan meskipun tidak tertulis. Keputusan demikian disebut keputusan fiktif- negatif. Fiktif artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi dapat dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis, sedangkan negatif berarti karena isi keputusan itu berupa penolakan terhadap suatu permohonan yang diajukan. Selain kedua bentuk Keputusan TUN di atas, ada beberapa Keputusan TUN yang karena sifat tidak dapat digolongkan dalam Keputusan menurut UU PTUN. Pasal 2 UU No.9 Tahun 2004 mengatur bahwa : Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatann hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Demikian juga yang telah diatur dalam Pasal 49 UU No.5 Tahun 1986 bahwa : Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan : a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. C. Tinjauan Tentang Upaya Intervensi Selain pihak penggugat dan tergugat, sistem PTUN juga mengenal pihak lain yang dapat masuk atau mencampuri suatu Sengketa TUN, yaitu pihak ketiga atau pihak intervensi sebagaimana yang diatur menurut Pasal 83 UU No.5 Tahun 1986. Masuknya pihak ketiga atau intervensi dalam proses persidangan merupakan terjemahan dari kata yang berasal dari bahasa Belanda yaitu interventie, di Indonesia diterjemahkan dalam beberapa istilah oleh para pakar. Indroharto menyebutnya dengan istilah “masukan pihak ketiga” , Zairin Harahap dan Wicipto Septiadi menyebutnya dengan istilah “pengikutsertaan pihak ketiga”. Adapun S.F. Marbun menggunakan peristilahan “masuknya pihak ketiga”untuk menterjemahkannya. Sementara itu Sudikno Mertokusumo dan Pitlo menerjemahkannya sebagai “campur tangan”. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata intervensi berarti tindakan campur tangan dalam permusuhan atau perselisihan dua belah pihak. Rozali Abdullah menjelaskan bahwa dalam proses pemeriksaan Sengketa TUN dimungkinkan adanya pihak ketiga, yaitu seseorang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan sutu sengketa berjalan. Sementara itu, R. Wiyono juga menjelaskan bahwa keikutsertaan pihak ketiga dalam Sengketa TUN disebut intervensi. Sedangkan intervensi menurut UU PTUN, adalah ikut sertanya pihak lain ke dalam sengketa. Pihak lain yang dimaksud adalah setiap orang di luar sengketa yang kepentingannya telah ikut dirugikan oleh Keputusan TUN yang disengketakan. Pihak ketiga yang berkepentingan maksudnya pihak lain di luar penggugat dan tergugat yang mempunyai kepentingan terhadap suatu objek sengketa yang ditetapkan penggugat intervensi atau tergugat intervensi dalam suatu Sengketa TUN yang sedang ditangani PTUN. Menurut Rozali Abdullahsecara umum keikutsertaan pihak ketiga dalam proses berperkara di pengadilan dimungkinkan dalam beberapa bentuk, yaitu: 1. Tussenkomst (menengah). Tussenkomst, yaitu pihak ketiga dengan kemauan sendiri dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk ikut serta dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, guna mempertahankan atau memebela hak dan kepentingannya sendiri, agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan pengadilan. Kalau permohonan itu dikabulkan, pihak ketiga tersebut berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam proses pemeriksaan sengketa tersebut dan disebut intervenient. Tussenkomst ini juga biasa dipakai sebagai istilah mengenai masuknya pihak ke tiga pada hukum acara perdata. Tussenkomst pada hukum acara peradilan tata usaha negara dapat dicontohkan dengan adanya Keputusan TUN untuk penggusuran suatu lahan yang diatasnya didirikan perumahan rakyat, ada sebuah rumah yang akan digusur, rumah tersebut oleh pemilik rumah dikontrakkan ke pihak lain, pada proses persidangan di pengadilan maka si pemilik rumah dapat ikut serta masuk ke proses persidangan dengan inisiatifnya sendiri karena jika ia tidak ikut serta kemungkinan ia akan dirugikan haknya. 2. Voeging (menyertai) Voeging, adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan Sengketa TUN yang sedang berjalan atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa yaitu penggugat atau tergugat. Permohonan diajukan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan agar pihak ketiga tersebut yang dimaksud dapat diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan untuk bergabung dengan pihak pemohon guna memperkuat posisi hukum pihak yang memohon. Voeging merupakan salah satu istilah untuk ikut sertanya pihak ketiga dalam proses persidangan acara perdata. Voeging dapat dicontohkan dengan : surat Keputusan TUN berkaitan dengan mutasi pejabat, misalnya seorang X dimutasi ke jabatan yang ada dibawahnya padahal menurut golongan dan pangkat seharusnya X tidak menempati jabatan yang ada dibawahnya, maka X dapat menarik pihak ke tiga (pejabat yang ada diatasnaya) untuk memperkuat posisinya. 3. Intervensi khusus Intervensi khusus yaitu masuknya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan adalah atas prakarsa hakim yang memeriksa sengketa tersebut, disini pihak ketiga ditarik kedalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, bergabung sebagai tergugat II intervensi. Sifat khusus ini karena ikut sertanya pihak ketiga kedalam sengketa yang sedang berjalan tersebut adalah atas perintah hakim guna mempermudah penyelesaian sengketa. Intervensi khusus dapat dicontohkan dengan hakim menarik pihak ke tiga untuk masuk ke proses sengketa dan pihak ke tiga tersebut ditarik karena punya kepentingan yang parallel terhadap tergugat. Ny. Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeriokartawinata, dalam bukunya berjudul Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek mengemukakan bahwa intervensi dalam bahasa Belanda disebut pula “Tussenkomst”. Tussenkomst atau intervensi diartikan sebagai pencampuran pihak ketiga atas kemauan sendiri yang ikut dalam proses, dimana pihak ketiga ini tidak memihak baik kepada penggugat maupun tergugat, melainkan hanya memperjuangkan kepentingan sendiri. Selain tussenkomst atau intervensi dalam hukum acara perdata, di dalam prakteknya dikenal lagi adanya pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu sengketa, yaitu: - Vrijwaring atau penjaminan terjadi apabila di dalam suatu perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan, di luar pihak yang berperkara, ada pihak ketiga yang ditarik masuk dalam perkara tersebut. - Voeging, yaitu penggabungan pihak ketiga yang merasa berkepentingan lalu mengajukan permohonan kepada majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut dan menyatakan ingin menggabungkan diri kepada salah satu pihak (penggugat atau tergugat). Dalam Bahasa Belanda hal ini disebut Voeging Van Partijen. Dalam hukum acara PTUN, mengenai tussenkomst, voeging dan vrijwaring dalam hukum acara perdata ini, dikenal hanya satu istilah saja yaitu intervenient atau intervensi. Dalam Hukum Acara Perdata pengertian intervensi oleh pihak ketiga dijelaskandengan suatu contoh kasus sebagai berikut : Dalam jual beli rumah dan tanah, A selaku penggugat dalam pokok perkara menggugat B, oleh karena B telah menjual rumah dan tanah kepadanya, akan tetapi tidak mau menyerahkan bangunan rumah dan tanahnya yang telah ia jual kepadanya. Mendengar tentang adanya gugatan itu, C yang juga merasa telah membeli rumah dan tanah tersebut dari B, datang ke persidangan, lalu dengan lisan atau tertulis mengemukakan kehendaknya untuk mencampuri perkara tersebut sebagai pihak ketiga. Ia, pihak ketiga ini disebut pihak intervenient. Apabila intervensi dikabulkan maka perdebatan menjadiperdebatan segi tiga. Pengertian intervensi dalam hukum acara perdata seagaimana dijelaskan dengan contoh di atas, mempunyai persamaan dengan pengertian intervensi dalam hukum acara PTUN, yaitu masuknya pihak lain/ketiga dalam suatu perkara antara penggugat dan tergugat. Perbedaannya adalah dalam hukum acara PTUN pihak ketiga dimaksud adalah hanya orang atau badan hukum perdata saja, sedangkan dalam hukum acara perdata, pihak intervensi itu tidak dibatasi, siapa saja boleh sebagai pihak intervensi termasuk badan hukum publik. Secara yuridis, masuknya pihak ketiga dalam penyelesaian Sengketa TUN diatur dalam Pasal 83 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986 yang menyebutkan “selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam Sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai pihak yang membela haknya atau bertindak sebagai peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa”. Sementara itu dalam ayat (2) disebutkan bahwa “permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang”. Dalam ayat (3) menyebutkan “permohonan banding terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa”. Dalam penjelasan Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan bahwa pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau badan hukum perdata yang berada diluar pihak yang sedang berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan. Masuknya pihak ketiga tersebut dalam hal sebagai berikut: a. Pihak ketiga itu dengan kemauan sendiri ingin mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan pengadilan dalam sengketa yang sedang berjalan. Untuk itu pemohon harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan serta hal yang dituntutnya. Putusan sela pengadilan atas permohonan tersebut dimasukkan dalam berita acara sidang. Apabila permohonan tersebut dikabulkan, pemohon di pihak ketiga akan berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam proses perkara itu dan disebut sebagai penggugat intervensi. Apabila permohonan tidak dikabulkan, maka terhadap putusan sela pengadilan itu tidak dapat dimohonkan banding. b. Adakalanya masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan karena permintaan salah satu pihak penggugat atau tergugat. Disini pihak yang memohon agar pihak ketiga itu diikutsertakan dalam proses perkara bermaksud agar pihak ketiga selama proses tersebut bergabung dengan dirinya untuk memperkuat posisi hukum dalam sengketanya. c. Masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berlangsung dapat terjadi atas prakarsa hakim yang memeriksa perkara itu. Masuknya pihak ketiga dalam proses baik atas prakarsa sendiri, maupun atas prakarsa hakim ditarik masuk dalam proses, ditempatkan pada pihak penggugat, dan tidak diberikan kepada tergugat karena dalam ketentuan hukum acara PTUN, kedudukan para pihak yang bersengketa tidak dapat berubah-ubah. Badan atau Pejabat TUN selalu berkedudukan sebagai tergugat dan orang atau badan hukum perdata sebagai penggugat. Untuk itu seorang hakim harus professional dalam menerapkan ketentuan Pasal 83, karena memungkinan akan terjadinya “gugat rekonvensi” yaitu bergantinya posisi penggugat menjadi tergugat, begitu pula sebaliknya pihak tergugat jadi penggugat dan secara yuridis hal tersebut tidak dibenarkan dalam ketentuan hukum PTUN. Sebagaimana Zairin Harahap berpendapat bawha “Kedudukan para pihak dalam Sengketa TUN, selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai pihak tergugat”. Maksud dari pendapat Zairin Harahap diatas yaitu bahwa kedudukan para pihak dalam hukum acara PTUN telah definitif, tidak dapat berubah-ubah. Penggugat tetap meupakan individu atau badan hukum perdata, sedangkan tergugat tetap merupakan Badan atau Pejabat TUN. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Makna Intervensi Uraian mengenai makna intervensi dalam sistem PTUN akan diuraikan dalam beberapa uraian di bawah ini yaitu: 1. Pengaturan Secara normatif, pengaturan tentang intervensi dalam sistem PTUN, telah diatur dalam Pasal 83 UU No.5 Tahun 1986, yaitu sebagai berikut: Ayat (1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: a. Pihak yang membela haknya atau b. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa. Ayat (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara siding. Ayat (3) Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa. Pasal 83 ayat 1 tersebut diatas hanya menyebutkan setiap orang sedangkan badan hukum perdata tidak disebutkan pihak yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa. Akan tetapi dalam penjelasan Pasal 83 telah menjelaskan bahwa pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau badan hukum perdata yang berada di luar pihak yang sedang berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang

Sign In to Perpus

Don't have an account? Sign Up