Judul“Konsep Diri Remaja Pemakai Narkoba Yang Berasal Dari Keluarga Broken Home (Studi Fenomenologi Pada Remaja Di Kecamatan Tatanga)” |
Nama: ST. CHIQUITA RAMADHANI |
Tahun: 2024 |
Abstrak ABSTRACT ST. Chiquita Ramadhani, B501 17 043 "Self-Concept of Adolescents who Use Drugs Who Come from Broken Home Families (Phenomenological Study of Adolescents in Tatanga District)" Communication Studies Study Program, Faculty of Social and Political Sciences under the guidance of Sitti Murni Kaddi and Fitriani Puspa Ningsih. The chaos of a family will greatly affect a child's self-concept. As a result, the child grows into an uncontrollable teenager who cannot control his behavior. The aim of this research is to understand the self-concept of adolescents in broken home families. This research method is descriptive qualitative, with a phenomenological approach. Determining informants used purposive sampling technique. The subjects in this research were teenagers in broken home families in Tavanjuka Village, Tatanga District, Palu City. The results of this research show that the informant has self-knowledge, where the informant knows that drugs can damage himself, knows that he has weaknesses and shortcomings and knows that he is able to get through difficult times. The informant also hopes that he will not use drugs again and can become a better person. Regarding self-assessment, the informant considered that he was a negative figure until he fell into drugs, but after undergoing a period of rehabilitation he believed he could be strong and optimistic about getting better. Having the problem of a broken home and undergoing drug rehabilitation made the informants have a positive self-concept, where they were able to forgive, be sincere and willing to change for the better. Keywords: Self Concept, Teenagers, Broken Home? ABSTRAK ST. Chiquita Ramadhani, B501 17 043 “Konsep Diri Remaja Pemakai Narkoba yang Berasal dari Keluarga Broken Home (Studi Fenomenologi pada Remaja di Kecamatan Tatanga)” Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di bawah bimbingan Sitti Murni Kaddi dan Fitriani Puspa Ningsih. Kekacauan sebuah keluarga akan sangat berpengaruh terhadap konsep diri anak. Akibatnya, anak tersebut tumbuh menjadi remaja yang tidak dapat terkontrol dan tidak dapat mengendalikan perilakunya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami konsep diri remaja pada keluarga broken home. Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. Penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pada keluarga broken home di Kelurahan Tavanjuka Kecamatan Tatanga Kota Palu. Hasil penelitian ini bahwa informan dalam hal pengetahuan terhadap diri sendiri, dimana informan tahu bahwa narkoba dapat merusak diri, tahu bahwa ia memiliki kelemahan dan kekurangan serta tahu bahwa ia mampu melalui masa sulitnya. Informan juga berharap tidak akan menggunakan narkoba lagi dan bisa menjadi orang yang lebih baik lagi. Terkait penilaian terhadap diri sendiri, dimana informan menilai bahwa ia merupakan sosok yang negatif hingga ia terjerumus pada narkoba, namun setelah menjalani masa rehabilitasi ia yakin bisa kuat dan optimis untuk lebih baik lagi. Adanya masalah broken home hingga menjalani rehabilitasi narkoba menjadikan informan memiliki konsep diri positif, dimana mereka bisa memaafkan, ikhlas dan mau untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Kata Kunci: Konsep Diri, Remaja, Broken Home? PENDAHULUAN Anak merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan akan membawa bangsa menuju bangsa yang maju. Masa kanak-kanak adalah masa yang penting dalam kehidupan manusia dan tentunya keluarga memiliki peran penting dalam kehidupan seorang anak. Oleh karena itu, pendidikan anak tidak dapat dipisahkan dari keluarganya, karena keluarga merupakan tempat pertama kali anak belajar menyatakan diri sebagai individu dalam berinteraksi dengan kelompoknya. Keluarga mempunyai peran dan tanggung jawab utama khususnya bagi orang tua dalam mengasuh, membesarkan, melindungi dan mendidik anak dari lahir hingga remaja. Terutama akan kemana seorang remaja tersebut menentukan masa depannya (Adriana, 2015:5). Kejadian perselisihan dalam suatu keluarga antara kedua orang tua sangatlah wajar. Hal ini sering kita jumpai karena dalam membina rumah tangga bukanlah sangat gampang melainkan kita harus menyatukan dua pribadi dan dua keluarga besar. Keluarga merupakan suatu anggota yang berisikan orang tua yaitu ibu dan ayah dan juga terdapat anak. Sehingga di dalam membina sebuah keluarga seharusnya pribadi-pribadi tersebut saling menghargai, saling menyayangi dan yang paling penting dalam sebuah keluarga yang baik adalah komunikasi antar sesama anggota keluarga. Perselisihan yang biasanya terjadi dalam keluarga atau sering kita sebut dengan keluarga broken home. Broken home adalah kurangnya perhatian atau kurangnya kasih sayang dari orang tua terhadap anak, sehingga membuat anak tersebut menjadi frustasi, brutal, dan susah diatur. Salah satu penyebab broken home adalah perceraian, dan berdasarkan data bahwa tingkat perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data dari Dirjen Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung bahwa dari 344.237 perceraian di Indonesia di tahun 2019, naik menjadi 365.633 perceraian di tahun 2020. Rata-rata angka perceraian naik 3% per tahun. Berikut adalah grafik mengenai faktor penyebab perceraian di Indonesia, yaitu: Gambar 1 Kasus Perceraian di Indonesia 2019-2020 (Sumber : Riset Komnas Perempuan) Perbedaan pendapat dan perselisihan terjadi di dalam keluarga karena dalam sebuah keluarga terdapat beberapa kepala dengan pemikiran yang berbeda-beda. Keharmonisan dalam keluarga pun sering terjadi kerusakan karena adanya sikap emosional antara sesama anggota keluarga. Keharmonisan didalam keluarga akan tetap terjalin apabila sesama anggota keluarga saling memahami, menghormati dan menjalankan perannya masing-masing, namun jika dalam keluarga tidak ada saling menghargai dan menghormati akan berakibat perpecahan dalam keluarga tersebut. Kekacauan sebuah keluarga akan sangat berpengaruh terhadap konsep diri anak. Akibatnya, anak tersebut tumbuh menjadi remaja yang tidak dapat terkontrol dan tidak dapat mengendalikan perilakunya. Konsep diri merupakan penilaian terhadap dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungannya. Hal ini berasal dari pola pikir, pengalaman dan hasil interaksi dengan orang lain dan lingkungan yang ada di sekitarnya, dan konsep diri berasal dari pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya, baik itu di lingkungan keluarga, sekolah ataupun pergaulannya (Arini, 2016:48). Pengalaman interaksi sosial di dalam keluarga turut menentukan pula cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain. Apabila interaksi sosialnya di dalam keluarga berjalan lancar maka besar kemungkinan memiliki tingkah laku yang bagus didalam bermasyarakat. Begitupun sebaliknya, jika interaksi sosial di dalam keluarga tidak berjalan lancar maka besar kemungkinan tingkah lakunya tidak disenangi oleh masyarakat. Di dalam suatu keluarga tidak jarang terjadi suatu perselisihan dan keributan, hal ini dirasa cukup wajar terjadi. Anak dimasa remaja, mudah mengalami pertentangan-pertentangan yang berakibat kesalahan dalam mengambil keputusan. Pada masa remaja, keinginan untuk mencoba-coba dan mengikuti trend serta gaya hidup besar sekali. Hal tersebut dapat memudahkan remaja untuk terdorong melakukan kenakalan remaja, terjerumus pada pergaulan yang salah karena trend dan gaya hidup orang lain atau teman-temannya yang mereka ikuti apalagi jika tidak ada pantauan dari kedua orang tua. Salah satu kenakalan remaja tersebut adalah penyalahgunaan narkoba. Data menunjukkan bahwa selama tahun 2020 kasus peredaran narkoba di Kota Palu masih banyak terjadi dan umumnya kalangan remaja yang mendominasi penyalahgunaan tersebut. Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Palu melaporkan pada tahun 2020, keterlibatan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa yang direhabilitasi (rawat jalan) di Klinik Pratama BNN Palu berjumlah 17 orang. Adapun dari kalangan wiraswasta dan pedagang yang direhabilitasi sebanyak 14 orang, selanjutnya petani, nelayan dan buruh kasar masing-masing sebanyak 2 orang. Sementara yang tidak memiliki pekerjaan sebanyak 17 orang. Ada 5 wilayah penyalahgunaan narkoba di Kota Palu yang menjadi fokus perhatian BNN Kota Palu, yakni Kecamatan Tatanga, Kayumalue, Anoa, Kampung Lere dan Pantoloan, dan sumber terbesar penyalahgunaan narkoba di Sulawesi Tengah berada di Kota Palu (BNN Kota Palu, 2020). Penyalahgunaan narkoba tersebut merupakan salah satu dampak yang sering terjadi pada anak dari orang tua yang bercerai. Perceraian tersebut umumnya dapat menurunkan pengawasan orang tua pada anaknya sehingga anaknya mempunyai perilaku menyimpang. Kelurahan Tavanjuka merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Tatanga yang paling banyak kasus perceraiannya di tahun 2020 (sekitar 6%) dibanding kelurahan lainnya yang ada di Kecamatan Tatanga seperti Kelurahan Duyu (5,1%), Kelurahan Nunu (4,8%), Kelurahan Palupi (4,4%), Kelurahan Boyaoge (3,9%) dan Kelurahan Pengawu (3,3%). Kasus perceraian yang ada dapat berdampak pada mental anak. Anak akan mudah terjerumus ke hal-hal negatif yang merusak masa depannya. Tingginya kasus narkoba yang terjadi pada remaja di Kecamatan Tatanga dapat saja disebabkan oleh kasus perceraian dari orang tua, sehingga timbul konsep diri yang negatif pada anak. Maka dari itu agar anak tidak melakukan perilaku menyimpang, diperlukan pendidikan dalam keluarga yang baik dan benar walaupun dalam keluarga tersebut mengalami broken home, hal ini dimaksudkan agar berpengaruh pada kontrol diri anak, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun teman sebaya. Orang tua dalam menjalani hidup sehari-hari harus bisa memberikan contoh yang baik kepada anaknya, karena seorang anak remaja mudah mencontoh sikap ataupun perkataan yang dilakukan oleh orang yang ada di sekitarnya. Orang tua juga menjadi guru bagi anak-anaknya saat berada di rumah. Pendidikan yang paling pertama diperoleh anak adalah keluarga. Jika di lingkungan keluarga saja tidak memberikan contoh yang baik kepada anak, di lingkungan luar anak pasti juga akan tumbuh menjadi remaja bebas, nakal dan bergaul dengan teman-teman yang salah. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Diri Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan sejak lahir, melainkan dipengaruhi oleh faktor yang ada di lingkungan terdekat, yang akan terbentuk dengan sendirinya melalui interaksi sosial. Dasar dari konsep diri seseorang ditanamkan sejak dini dikehidupan anak dan akan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari (Agustiani, 2013:52). Komunikasi Interpersonal Devito (2011:58) mengartikan komunikasi interpersonal ini sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau disekelompok kecil orang dengan beberapa effect atau umpan balik seketika. Komunikasi interpersonal yang dimaksud pada konteks penelitian ini adalah komunikasi interpersonal antara anak dengan orang tua. Lebih konkretnya adalah komunikasi antara orang tua dan remaja yang mengalami broken home pada keluarganya. Pada penelitian ini peneliti akan mengakaji pola konsep diri remaja pada keluarga broken home. Remaja Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Masa remaja adalah masa dimana munculnya berbagai kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan kemampuan fisik yang lebih jelas dan daya pikir yang matang (Hurlock, 2011:26). Keluarga Keluarga adalah unit kelompok sosial terkecil dalam masyarakat. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan arena itu perlu ada kepala keluarga sebagai tokoh penting yang mengemudikan perjalanan hidup keluarga yang diasuh dan dibinanya (Andarmoyo, 2012:80). Keluarga Broken Home Chaplin (2010:89) mengemukakan bahwa broken home berarti keluarga retak atau rumah tangga berantakan dengan kata lain adalah keluarga atau rumah tangga tanpa hadirnya salah seorang dari kedua orang tua (ayah atau ibu) yang disebabkan oleh kematian, perceraian, atau meninggalkan rumah. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif dilakukan karena peneliti ingin mengeksplor fenomena-fenomena yang tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif. Pembatasan dalam penelitian kualitatif ini lebih didasarkan pada tingkat kepentingan/urgensi dari masalah yang dihadapi dalam penelitian ini. Penelitian ini akan difokuskan pada “konsep diri remaja pada keluarga broken home yang tinggal di Kelurahan Tavanjuka Kecamatan Tatanga Kota Palu”. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kelurahan Tavanjuka Kecamatan Tatanga Kota Palu. 1. Pengetahuan terhadap diri sendiri merupakan pemahaman remaja terkait dirinya yang mampu keluar dari masalah narkoba meskipun memiliki keluarga yang broken home. 2. Pengharapan diri sendiri merupakan keinginan atau sesuatu yang ingin dicapai remaja untuk dirinya sendiri setelah menjalani rehabilitasi narkoba dan masalah broken home yang dihadapinya. 3. Penilaian tentang diri sendiri merupakan cara remaja dalam menilai dan memaknai dirinya sendiri setelah menjalani rehabilitasi narkoba di tengah keluarga yang broken home. 4. Konsep diri positif merupakan pandangan remaja terhadap dirinya sendiri dimana ia mampu menjadi pribadi yang lebih baik lagi tanpa narkoba setelah menjalani rehabilitasi di tengah keluarga yang broken home 5. Konsep diri negatif? merupakan pandangan remaja tentang dirinya sendiri dimana ia tidak mampu dalam menjalani kehidupan yang lebih baik lagi setelah menjalani rehabilitasi di tengah keluarga yang broken home. 6. Remaja merupakan individu yang berumur 13-17 tahun. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebagian besar informan dalam penelitian ini berasal dari keluarga broken home akibat ketidakharmonisan orang tua. Pertengkaran yang sering terjadi membuat informan merasa marah, sedih dan stres. Adapula informan dari keluarga broken home yang diakibatkan perpisahan/perceraian yang menyebabkan informan merasa sedih dan kesepian serta merasa orang tua tidak akan menyayangi mereka lagi. Menurut Zuraidah (2016) anak atau remaja yang yang orang tuanya bercerai, pisah, ataupun broken home bisa mengalami masalah kesehatan mental. Dimulai dari mengembangkan perasaan sinis ke semua orang, masalah kepercayaan, rasa kecewa, sedih, stres yang pada akhirnya bisa memicu gangguan kesehatan mental. Broken home merupakan suatu keadaan dimana seseorang anak kurang mendapat perhatian dari keluarga maupun kurangnya kasih sayang dari kedua orang tua yang dapat membuat kesehatan mental seorang anak menjadi brutal, frustasi dan susah untuk diatur (Angraini, 2022). Broken home adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi keluarga yang sudah tidak utuh lagi karena kedua orang tua sudah tidak perduli dengan situasi dan kondisi di rumah. Para orang tua tidak lagi memperdulikan keadaan anak-anaknya baik itu masalah di rumah, di sekolah maupun perkembangan dan pergaulan anak di masyarakat. Hal ini yang menyebabkan anak merasa tidak disayangi lagi, mudah stres, marah, kecewa hingga bisa menimbulkan depresi. Brooks dalam Sianturi (2017) mendefinisikan konsep diri sebagai persepsi tentang diri sendiri. Konsep diri adalah rangkaian karakteristik yang dipandang oleh seseorang mengenai dirinya sendiri dan dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dirinya. Konsep diri sangat berpengaruh kuat terhadap kepribadian. Konsep diri ini menjadi suatu identitas yang akan membedakan antara individu satu dengan individu yang lainnya, karena setiap individu memiliki pengetahuan dan keyakinan yang unik mengenai dirinya sendiri. Seiring berjalannya waktu karena faktor eksternal, konsep diri akan mulai terbentuk dan relatif lebih stabil. Interaksi dengan orang-orang melalui perbandingan sosial, ataupun timbal balik dari orang lain akan berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri. Apa yang dialami, apa yang didengar, dilihat, apa yang dirasakan, dan apa yang dilakukan adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi pembentukan dan perubahan konsep diri. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa pengetahuan informan terhadap dirinya sendiri dimana informan tahu bahwa mereka mampu melewati masa sulit karena penggunaan narkoba, mereka tahu bahwa diri mereka kuat dan bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dikemudian hari. Meskipun mereka dulunya menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan pemalu namun setelah menjalani proses panjang saat di rehabilitasi banyak hal yang mereka pelajari terutama brkaitan dengan agama yang membentuk konsep diri positif pada remaja broken home ini. Konsep diri positif merupakan pandangan individu terhadap dirinya dimana individu tersebut mampu memahami kelemahan dan kelebihan dirinya. Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggaan yang besar tentang dirinya. Remaja dengan konsep diri positif dilihat dari mereka yang bisa memaafkan, ikhlas dan sabar menghadapi kenyataan bahwa orang tuanya tidak seharmonis dulu bahkan adapula yang harus rela dan ikhlas kedua orang tuanya berpisah, walaupun menyisahkan luka dan kekecewaan yang mendalam. Namun yang terjadi pada informan dengan konsep diri negatif justru terbentuk kepribadian yang pemarah, pendendam, frustasi, iri, tidak bisa menerima, dan kecewa. Terbentuknya konsep diri negatif ini karena informan mengalami berbagai hal yang tidak menyenangkan di rumah. Mereka sering merasa stres, kecewa, dan kesepian sehingga terbentuklah konsep diri yang negatif ini. Masalah broken home dalam keluarga membuat anak mengambil langkah yang salah hanya untuk melarikan diri dari kenyataan yang terjadi. Narkoba dianggap bisa menjadi pelarian, penenang dan dapat mengatasi stres yang mereka alami. Umumnya yang menjadi salah satu faktor utama penyebab seorang remaja menggunakan narkoba yaitu masalah yang terjadi pada keluarganya. Dalam setiap kasus broken home, anak selalu menjadi dan dijadikan korban. Menjadi korban karena haknya mendapat lingkungan keluarga yang nyaman telah dilanggar. Dijadikan korban karena orang tua kerap melibatkan anak dalam konflik keluarga. Banyak orang tua yang saling tarik menarik anak saat konflik berlangsung dengan alasan cinta. Dalam keadaan bingung, anak terombang-ambing antara dua orang yang mengaku paling menyayanginya. Ironisnya, banyak diantara anak korban broken home yang memilih lari dari keluarganya atau tinggal sendiri dan bersahabat dengan narkoba atau hal-hal negatif lainnya. Menurut Angraini (2022) orang tua perlu menjaga agar keluarga tetap harmonis. Keharmonisan dalam hal ini tidaklah selalu identik dengan adanya orang tua utuh (ayah dan ibu), sebab dalam banyak kasus orang tua single terbukti dapat berfungsi efektif dalam membantu perkembangan psikososial anak. Hal paling penting yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah menciptakan suasana yang demokratis di dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orangtua maupun saudara-saudaranya. Adanya komunikasi timbal balik antara anak dan orangtua, maka segala konflik yang timbul akan mudah diatasi. Sebaliknya komunikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas dan lain sebagainya hanya akan menimbulkan berbagai konflik yang berkepanjangan sehingga suasana menjadi tegang, panas, emosional sehingga dapat menyebabkan hubungan sosial antara satu sama lain menjadi rusak. Menurut Yuliani (2015) anak-anak yang hubungan orang tuanya tidak harmonis lagi akan cenderung menunjukkan perilaku yang pembangkang, mudah steres dan tidak mudah percaya lagi pada orang lain terutama orang terdekatnya. Menurut Willis (2018) anak broken home sangat sulit untuk merasakan kebahagiaan seperti orang lain seusianya. Memang ada kalanya rumah tangga tidak bisa dipertahankan sehingga berujung pada perpisahan. Saat orang tua berpisah, anak adalah salah satu yang menjadi korbannya. Anak broken home biasanya memiliki sifat agak berbeda dari yang lain, khususnya jika dibandingkan dengan orang yang memiliki keluarga utuh. Anak biasanya menjadi pendiam dan sulit bergaul, namun adapula juga yang menjadi pembangkang hingga lari ke narkoba untuk menenangkan dirinya. Konflik orang tua yang terus menerus terjadi, apalagi berlangsung di depan anak-anak itu sendiri, secara psikologis akan merusak kondisi anak. Konflik ini bukan saja berarti pertengkaran mulut/fisik antar orangtua tetapi perang dingin dimana kedua orangtua saling mengacuhkan satu sama lain juga dianggap sebagai konflik karena berpotensi mengganggu dan menghancurkan kehangatan dan keharmonisan suatu keluarga. Menurut Muttaqin dan Sulistiyo (2019) dalam penelitiannya bahwa hal paling penting yang perlu diperhatikan oleh orang tua adalah menciptakan suasana yang demokratis di dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-saudaranya. Komunikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas dan lain sebagainya hanya akan menimbulkan berbagai konflik yang berkepanjangan sehingga suasana menjadi tegang, panas, emosional sehingga dapat menyebabkan hubungan sosial antara satu sama lain menjadi rusak. Keadaan keluarga tidak utuh dan sering bertengkar mengakibatkan gangguan psikologis bagi anak-anak, karena mereka kurang mendapat perhatian dan kasih sayang yang seharusnya mereka peroleh pada masa remaja. Akibatnya mereka mengalami gangguan emosional atau neurotik, seperti mengisolasikan diri dari teman-temannya, merasa kesepian karena merasa tidak diperhatikan lagi, merasa tidak percaya diri, mereka kurang membangun interaksi sosial dengan orang lain serta punya harapan hidup yang rendah. Tempat perkembangan awal bagi seorang anak sejak saat kelahirannya hingga proses perkembangan jasmani dan rohani di masa mendatang adalah keluarga. Mereka membutuhkan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman untuk berlindung pada orangtuanya untuk mencapai perkembangannya. Tanpa sentuhan manusiawi itu, anak akan merasa terancam dan dipenuhi rasa takut. Bagi seorang anak, keluarga memiliki arti dan fungsi yang penting bagi kelangsungan hidup maupun dalam menemukan makna dan tujuan hidup. Selain itu di dalam keluarga anak didorong untuk menggali, mempelajari, dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan, religius, norma-norma (etika), dan pengetahuan (Devito, 2011). KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan yaitu Dimensi Konsep Diri, Informan dalam hal pengetahuan terhadap diri sendiri, dimana informan mengetahui bahwa narkoba dapat berdampak buruk bagi dirinya dan memiliki kelemahan maupun kekurangan terhadap kualitas diri mencakup tentang nilai pribadi yang membedakan dirinya dengan orang lain serta tahu bahwa ia mampu melalui masa sulitnya. Informan juga berharap tidak akan menggunakan narkoba lagi dan berharap kedepan ingin menjadi lebih baik karena dengan adanya harapan akan membantu mengambil langkah-langkah positif yang dapat membawa diri kita ke hasil yang posotif. Terkait penilaian terhadap diri sendiri, dimana informan menilai bahwa ia merupakan sosok yang negatif hingga ia terjerumus pada narkoba, namun setelah menjalani masa rehabilitasi ia yakin bisa kuat dan optimis untuk lebih baik lagi karena dalam hal ini berkaitam dengan status, proses, dan tingkat pencapaian diperolehnya. Adanya masalah broken home hingga menjalani rehabilitasi narkoba menjadikan informan memiliki konsep diri, dimana mereka bisa memahami dampak buruk terhadap penggunaan narkoba karena tidak siginfikan terhadap proses perkembangan dan nilai nilai kultur terhadap hidup yang baik, masalah yang hadapi dan beban terhadap broken home manjadikam informan tidak mendapatkan kasih sayang terhadap keluarga dan tidak memahami kondisi secara personal, maka dari itu informan berharap masalah yang dihadapi baik secara ruang lingkup keluarga maupun lingkungan dapat menjadi pelajaran hidup dan di hadapi dengan sikap dewasa secara teratur. REFERENSI Adriana, D. (2015). Tumbuh kembang & terapi bermain anak. Jakarta : Salemba Medika. Agustiani, H. (2013). Psikologi Perkembangan Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri Dan Penyesuaian Diri Pada Remaja. Bandung: PT. Refika Aditama. Andarmoyo, S. (2012). Keperawatan Keluarga (Pertama.). Yogyakarta: Graha Ilmu Arini, A. T. (2016). Orang Tua dan Konsep Diri Anak. Yogyakarta: Kanisius. BNN Kota Palu. (2020). https://www.kabarselebes.id/berita/2020/12/28/remaja-mendominasi-penyalahgunaan-narkoba-di-palu-selama-tahun-2020/ Chaplin J. P. (2010). Kamus Lengkap Psikologi (Terjemahan Kartini Kartono). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Devito, J.A. (2011). Komunikasi Antar Manusia. Pamulang. Tangerang Selatan: Karisma Publishing Group Hurlock, E.B. (2011). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga Muttaqin, I dan Sulistiyo, B. (2019). Analisis Faktor Penyebab Dan Dampak Keluarga Broken Home. Raheema. Vol. 6. No. 2. Sianturi. (2017). Konsep diri pada remaja dari keluarga yang bercerai. Kognisi Jurnal, Hal 2528-4495. Yuliani, E. (2015). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Teras Zuraidah (2016). Analisa Perilaku Remaja Dari Keluarga Broken Home. Kognisi Jurnal. Vol.1. No. 1 |