JudulOrganogenesis Tanaman Bambu Putih (Bambusa Glaucophylla Widjaja) Dengan Penambahan Zat Pengatur Tumbuh BAP (Benzyl Amino Purine) Dan IBA (Indole Butiric Acid) Secara In Vitro |
Nama: IRWAN T. LATAHA |
Tahun: 2019 |
Abstrak Bambu Putih (Bambusa glaucophylla Widjaja) termasuk dalam genus Bambusa, merupakan spesies yang penting secara global. Perbanyakan bambu secara vegetatif yang telah diusahakan, seperti stek batang, stek cabang, dan stek rimpang, tetapi metode tersebut belum berhasil optimal. Oleh karena itu diperlukan metode kultur jaringan untuk budidaya bambu. Kultur jaringan merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah untuk mendapatkan bibit tanaman bambu putih (B.glaucophylla Widjaja) dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat. Penambahan zat pengatur tumbuh golongan auksin dan sitokinin menjadi salah satu faktor penentu dalam keberhasilan kultur jaringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi kombinasi BAP (Benzyl Amino Purine) dan IBA (Indole Butiric Acid) yang terbaik untuk organogenesis tanaman bambu putih (B. glaucophylla Widjaja) secara in vitro. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium ilmu-ilmu kehutanan fakultas kehutanan dari bulan September sampai Desember 2017. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan yaitu : P1= MS + 2 ppm BAP + 0,2 ppm IBA, P2= MS + 2,5 ppm BAP + 0,2 ppm IBA, P3= MS + 2 ppm BAP + 2,5 ppm IBA, P4= MS + 2,5 ppm BAP + 2,5 ppm IBA. Masing – masing percobaan diulang 6 kali, maka terdapat 24 unit percobaan. Parameter yang diamati adalah saat muncul tunas, jumlah tunas, saat muncul daun, jumlah daun dan jumlah akar. Data dianalisis secara kuantitatif menggunakan analisis varian. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi zat pengatur tumbuh BAP (Benzyl Amino Purin) dan IBA (Indole Butiric Acid) yang terbaik terdapat pada perlakuan P4 dengan konsentrasi MS + 2,5 ppm BAP + 2,5 ppm IBA memberikan jumlah tunas tertinggi dengan rata-rata 1.83 tunas, menginduksi daun tercepat dengan rata-rata 1,58 Hari Setelah Tanam (HST), dan jumlah daun tertinggi dengan rata-rata 1.83 helai. Pada akhir pengamatan tidak ada akar yang terbentuk pada semua perlakuan yang dicobakan. |